Seorang wanita yang beberapa jam lalu resmi menjadi janda muda berteriak histeris di samping bale-bale . Seorang anak perempuan terus-terusan menangis mendengar ibunya berteriak bak orang kesurupan. Mata wanita itu sudah kelihatan bengkak dan memerah karena tangisan yang terus-menerus. Hidungnya pun ikut memerah. Nafasnya tak lancar karena hidungnya tersumbat. Isi perutnya teraduk-aduk melihat darah bersimbah di kain tubuh sosok yang telah jadi mayat di hadapannya.
Kehisterisannya itu memang tidak biasa dilakukan oleh wanita yang kehilangan suaminya. Itu adalah ungkapan ketidakikhlasan atas hidupnya. Dua minggu lalu adalah kali terakhir ia melihat suaminya berangkat ke hutan Nunsulat. Berbekal makanan, baju seadanya, ember kecil dan pisau, ia mencium kening istrinya dengan kasih sayang. Batin wanita itu, suaminya tak pernah berlaku begitu sebelum berangkat ke hutan.
Sesaknya rumah kecil dengan banyak pelayat yang datang menambah sesaknya hati janda muda itu. Paling menyesakkan saat duka bergelayut, orang-orang membicarakan kesalahan suami wanita itu. Bahkan saat ritual pembersihan diri Nakete, mereka mengira suaminya tidak jujur mengakui kesalahannya. Hingga hukum alam pun terjadi padanya.
Bisik-bisiknya terdengar sampai ke telinga wanita itu. Tak etis rasanya mereka mengumbar aib ketika arwah suaminya itu masih di sekitar rumah kayu itu. Maka hatinya semakin teriris-iris. Tangisannya semakin menjadi-jadi.
Ia menyesali kejadian yang baru saja terjadi. Bahkan ia mempersalahkan kemiskinan yang terus menghidapi kehidupan mereka. Andai menjadi buruh petani sudah cukup menghidupi kehidupan mereka, mungkin suaminya tidak mengalami kejadian itu.